Jumat, 20 Februari 2009

Utang Tak Dibayar, Barang Dirampas

Pertanyaan:
Bapak Pengasuh rubrik konsultasi hukum yang saya hormati, Pada bulan Oktober 2008 silam, saya melakukan perjanjian pinjam meminjam uang dengan seorang teman sebut saja namanya A sebesarnya Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah). Si A meminjam uang tersebut dengan alasan akan mengembangkan bisnisnya, dan berjanji uang tersebut dipinjam tidak dalam waktu lama hanya tiga bulan dan berjanji akan membayarnya pada bulan Desember 2008, namun hingga bulan ini, februari 2009, Si A tidak pernah membayar hutangnya. Setiap dihubungi melalui HP dimatikan, dan setiap kerumahnya ia tidak ditempat.
Pertanyaan saya adalah, karena tindakan Si A tidak membayar hutangnya tersebut dapatkah saya ambil saja barang-barang yang berada di rumah Si A sesuai dengan jumlah utangnya.
Demikian pertanyaan saya, terimakasih atas jawaban yang bapak berikan. (Bapak Anto, di Padang).

Jawaban:
Bapak Anto yang kami hormati. Setiap orang yang berutang, utangnya harus dibayar. Hal ini merupakan dasar logika kita berpikir. Si A telah berutang kepada bapak, maka Si A wajib membayar utangnya tersebut. Tindakan Si A dengan tidak melakukan pembayaran terhadap utangnya merupakan bentuk wanprestasi.
Indonesia merupakan Negara hukum, maka setiap warga Negara harus patuh dan tunduk dengan hukum. Bila ada hak-hak warga negara yang dirugikan, maka warga Negara tersebut harus memperolehnya melalui jalur hukum. Namun tindakan yang bapak lakukan dengan datang ke rumah Si A dan kemudian mengambil barang-barang milik Si A, merupakan suatu bentuk tindakan melawan hukum atau main hukum sendiri (eigen rechten).
Saya memahami kondisi yang Bapak Anto alami, namun perlu Bapak Anto pahami bahwa jangan sampai untuk memperoleh hak, Bapak melanggar hukum. Jangankan hak Bapak yang akan di peroleh nantinya, malahan Bapak dapat ditahan oleh pihak kepolisian karena telah melakukan tindakan pencurian dan masuk kerumah orang tanpa izin. Hal tersebut dapat saja terjadi bilamana Si A melaporkan tindakan Bapak Anto ke Kepolisian.
Sebagai saran dari kami, bila Bapak mempunyai permasalahan seperti di atas, Bapak perlu melakukan gugatan kepada Si A ke pengadilan, karena Si A tidak membayar hutangnya. Dalam gugatan yang Bapak ajukan, disamping Bapak meminta supaya Si A membayar hutangnya, Bapak juga dapat meminta ganti rugi. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1243 KUHPerdata, “Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila yang berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”.
Kemudian, biar nantinya pengadilan yang akan melakukan eksekusi dan penyitaan terhadap barang-barang milik Si A.
Demikianlah jawaban kami. Mudah-mudahan dapat membantu Bapak

Rabu, 18 Februari 2009

Hak Asuh Anak Pada Perceraian

Pertanyaan:
Saya Hormati Bapak pengasuh rubrik konsultasi hukum, Saya seorang bapak yang saat ini memegang amanah dari Allah dua orang anak umur 12 tahun dan 8 tahun tinggal di Kota Bukittinggi sementara isteri saya sekali seminggu bahkan bisa sekali sebulan datang dari Padang, karena dia tinggal di Padang bersama orang tuanya dan dia punya kegiatan di Padang, sekarang isteri saya minta cerai, dia ingin membawa anak yang telah saya asuh 6 tahun lamanya. Pertanyaan saya apakah isteri saya bisa membawa anak, sementara anak tidak mau tinggal sama mamanya.
Terimakasih atas jawabannya. (Bapak A, Bukittinggi)

Jawaban:
Pertama kali saya turut prihatin atas kasus yang melanda Bapak. Dalam hal terjadinya perceraian ada dua hal yang sering menjadi sengketa antara suami dan isteri. Harta dan anak sumber pertengkaran tersebut. Bila harta tidak dipermasalahkan anak yang dipermasalahkan.
Dalam kasus perceraian yang Bapak alami, anak yang dipermasalahkan. Kepada siapa hak asuh anak akan diberikan apakah kepada bapaknya atau kepada ibunya. Untuk menjawab hal tersebut kita merujuk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 41 huruf a di tegaskan, “Akibat putusnya perkawian karena perceraian ialah: Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan memberi keputusan”.
Pasal tersebut memberikan suatu jalan keluar, bahwa bila terjadi perselisihan mengenai hak asuh anak maka pengadilanlah yang akan memutuskan bapak atau ibu yang memilki hak asuh terhadap anak-anaknya. Dalam pasal tersebut, secara umum memberikan penjelasan bahwa bapak atau ibu yang bercerai memiliki hak yang sama untuk dapat mengasuh anak-anaknya.
Bila masing-masing pihak (baik bapak atau ibu yang cerai) dapat meyakinkan hakim bahwa dialah yang lebih cocok dan tepat untuk mendidik dan merawat anak tersebut maka ialah yang akan mendapat mengasuh anak tersebut. Namun sebaliknya bila tidak dapat memberikan dalil-dalil bahwa dialah (bapak atau ibu yang bercerai) yang lebih tepat dan cocok merawat anak maka ia tidak diberikan hak mengasuh anak-anak tersebut.
Namun bila kita tilik dalam aturan yang lain, Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, pada Pasal 105 dijelaskan bahwa:
Dalam hal terjadinya perceraian:
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Pasal tersebut menegaskan bahwa anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun bila terjadi perceraian, menjadi hak ibunya. Jadi, anak yang berada dibawah asuhan bapak saat ini, yang belum berusia 12 tahun tersebut menjadi hak ibunya. Namun untuk anak yang berada dibawah asuhan bapak yang satu lagi yang sudah berumur 12 tahun, minta ia memilih tinggal sama bapak, ayahnya, atau tinggal dengan ibunya.
Namun pasal tersebut tidak sepenuhnya berlaku mutlak, ada beberapa hal yang dapat mengenyampingkannya, seperti ibunya orang yang sakit jiwa. Maka hak asuh anak tidak jatuh kepada ibunya. Atau memang anak tidak mau dipisahkan dari bapaknya, atau bila dipisahkan anak dari penasuhan bapaknya dapat menyebabkab si anak jatuh sakit. Bila bapak dapat membuktikan dan meyakinkan mejelis hakim hal-hal tersebut, maka hak asuh anak bisa berada ditangan bapak.
Demikianlah jawaban kami, semoga dapat membantu Bapak.